WhatsApp-Button Hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian
Header Web PA Luwuk

Jaminan Hak-Hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian

on .

on .

JAMINAN HAK-HAK PEREMPUAN DAN ANAK PASCA PERCERAIAN

Angka perceraian setiap tahunnya tercatat terus meningkat. Berdasarkan data Pengadilan Agama Luwuk, sampai dengan September 2022, terhitung lebih dari 500 perkara perceraian. Akan tetapi, dari angka perceraian tersebut, ada permasalahan lainnya yaitu tidak terpenuhinya hak-hak perempuan dan anak setelah bercerai. Apakah hal yang mendasari minimnya tuntutan hak perempuan dan anak pasca perceraian? Apa sajakah hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian? Apakah hak-hak tersebut diatur dan dilindungi aturan Perundang-undangan?

Dalam ketentuan hukum, ketika terjadi perceraian, ada hak-hak perempuan yang masih menjadi kewajiban suami. Terlebih lagi apabila perkawinan telah dianugerahi anak atau buah hati. Lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149 juga disebutkan bahwa jika perkawinan putus karena cerai talak, maka ada 4 (empat) kewajiban yang harus ditanggung oleh suami, yaitu Mut’ah, Nafkah Iddah, Mahar yang terutang, dan Biaya Hadhanah.

Mut’ah adalah pemberian materi berupa uang ataupun benda, dengan tujuan menghilangkan rasa sakit akibat perceraian atau sebagai kenang-kenangan untuk menyenangkan hati isteri. Sedangkan Nafkah Iddah adalah nafkah dalam bentuk pangan, pakaian, dan tempat tinggal yang diberikan kepada isteri yang diceraikan pada masa iddah. Akan tetapi, kewajiban memberikan nafkah iddah ini dapat gugur, apabila isteri dijatuhi talak bain atau isteri melakukan nusyuz dan sedang tidak dalam keadaan hamil. Sedangkan Mahar yang terutang, yaitu apabila saat menikah penyerahan mahar tidak secara tunai, maka saat bercerai suami wajib melunasi seluruhnya atau jika perceraian itu terjadi sebelum hubungan suami istri (Qabla Al Dukhul), maka cukup membayar sebagian saja.

Yang keempat, Hak dan Biaya hadhanah, biaya hadhanah atau biaya pemeliharaan anak diberikan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Sedangkan Hak Hadhanah yaitu hak pemeliharaan anak untuk anak yang masih mummayiz atau berumur dibawah 12 tahun diberikan kepada isteri. Akan tetapi setelah anak berusia 12 tahun maka untuk menentukan hak hadhanah tersebut diberikan hak pilih kepada si anak untuk menentukan apakah ia bersama ibu atau ayahnya, dan biaya pemeliharaan menjadi tanggung jawab ayahnya seperti tercantum dalam pasal 105 KHI.

Hak lainnya yaitu Nafkah Madhiyah adalah nafkah lampau yang belum dibayarkan suami selama masa perkawinan kepada isteri. Saat terjadi perceraian, isteri dapat menuntut hak tersebut.

Hak-hak tersebut tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 huruf c yaitu, “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri”.

Selain itu, isteri juga berhak atas Harta Bersama yang didapatkan selama masa perkawinan. Sesuai Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, masing-masing Janda atau Duda cerai hidup berhak atas harta Bersama sebesar seperdua atau sebagian, kecuali apabila ada perjanjian perkawinan.

Akan tetapi jika melihat praktiknya di tengah masyarakat, hak-hak tersebut nyatanya sulit terpenuhi. Mengapa demikan? Pertama, banyak perempuan yang tidak memiliki pengetahuan tentang sejumlah hak tersebut, sehingga tidak meminta hak yang ada ketika terjadi perceraian. Kedua, perempuan tahu tentang hak-hak itu, tetapi tidak bisa atau tidak mampu mendapatkannya dari pihak suami. Faktor lain yang mendasari tidak terpenuhinya hak-hak perempuan yaitu perempuan yang enggan mencantumkan hak-hak tersebut di dalam surat gugatannya karena takut proses perceraian menjadi sulit, meskipun hak-hak tersebut dilindungi Undang-Undang.

Hak-hak tersebut hanya dapat diperoleh apabila perempuan bercerai di Pengadilan Agama. Caranya, dengan mencantumkan tuntutan hak ke dalam surat gugatan. Untuk memenuhi hak-hak perempuan ini, dibutuhkan kerja sama banyak pihak. Yang pertama adalah pihak perempuan itu sendiri, yakni harus menyadari bahwa dirinya memiliki hak tertentu yang bisa dituntut ketika bercerai. Kedua, tentunya adalah itikad baik dari suami. Sebagai kepala rumah tangga seharusnya memahami kewajiban terhadap istri, baik ketika masih berstatus sebagai istri sah, ataupun saat bercerai. Dengan keberanian seorang perempuan menuntut hak, dan putusan hakim yang adil, maka diharapkan beragam hak perempuan dapat terpenuhi dengan baik.

Ayumi Zulfa Rosadi

Sumber:
Kompilasi Hukum Islam
UU No. 1 Tahun 1974

 

telp kantor min     PETA KANTOR    WHISTLEBLOWING    MEDIA SOSIAL
    maps wb         WB         fb bwyt bwINSTAGRAM2
                   
                   
                   

🪐

cctv paluwuk