Manusia "Sempurna" Refleksi Yang Tertinggal
MANUSIA "SEMPURNA" REFLEKSI YANG TERTINGGAL
Oleh: Syarifudin Tayeb
Refleksi ini sebagai autokritik pada sebuah jalan panjang anak manusia bernama syarif tayeb, dimana konon di daulam dalam penciptaan semua manusia di daulat sebagai mahluk spritual melalui pengakuannya atas pertanyaan Ilahi "Alastu birabbikum".
Karena itu hampir keseluruhan narasi refleksi ini adalah penghardik kebebalan hati saya dan kekosongan jiwa yg kontras dengan sosok ideal mahluk spritual sekaligus manusia puasa. Sebuah refleksi penampar perilaku diri saya yang jauh dari ilmu dan hikmah serta ritual ibadah yang tambal sulam. Hidup masih terkooptasi, ego, arogansi, apatis. Segala potensi kesempurnaan mahluk spritual dan manusia puasa masih jauh dari diri rapuh ini.
Refleksi tidak menarik untuk dibaca, karena mengesankan sok tau literasi berlanggam ekskatologik sufistik. Ya Sesungguhnya hanyalah konstruksi pikiran yang kusut, hampir sama kusutnya dengan suasana kebathinan Republik ini yang tidak saja karena si covid masih saja jadi pencekal tak mudik, tetapi karena memang secara patologis anatomi kebangsaan kita sedang kusut tak terurai dan potensial sakit yang sangat akut.
Ramadhan telah usai, sederet keutamaan ibadahnya pun telah berlalu. Sebagai bagian pilar agama, ramadhan adalah jagad makna yang tak sekedar hirakis realitas ontologis. Karena itu lebih jauh bisa diselami hingga ke jantung pesan yang terdalam untuk menterjemahkan tujuan Ilahi atas pensyariatannya.
Dalam Qalam suciNya, usainya ramadhan berpuncak pada hadirnya jutaan pribadi puasa sebagai sosok manusia sempurna (Takwa). Tentu kesempurnaan disini tidaklah dimaknai sama dengan sempurnanya Pemilik Kesempurnaan. Kesempurnaan manusia puasa dalam konteks ini di dasarkan pada pilihan diksi dan narasi intelektual para filosof.
Istilah manusia sempurna dalam khazanah pemikiran Islam dikenal pada abad ketujuh hijriah dan digunakan awal di dunia Islam oleh seorang sufi yang Masyhur Muhyiddin Arabi al-Andalusi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Arabi. Ia menggunakan istilah “manusia sempurna” atau insan kamil dari perspektif tasawuf. Istilah ini selanjutnya mendapat perhatian khusus dari al-Jilli, yang mengembangkannya dalam karyanya "al-insan al-kamil". Kemudian berkembang baik di pikiran Timur mapun Barat era modernisme dan post modern. Katakanlah diantaranya adalah konsep Nietzsche tentang ubermensch atau manusia super yakni manusia yg telah melampaui hasrat dirinya. Iqbal hadir dgn manusia Ideal yang kreatif sebagai konsepsi tentang manusia sempurna. Ada hakikat manusia puncak ala Martin Heidegger dan Mulla Sadra yg memiliki kesamaan prinsip ontologis, dimana keduanya yakin bahwa manusia puncak atau manusia sempurna (al-insan al kamil) adalah muara atau manifestasi Penyingkapan hakekat tertinggi dari yang Ada (Tuhan) itu. Jika pikiran masih beranjak lagi, kita menemukan konsep manusia paripurna ala al Farabi dan tentu masih ada deretan pemikir lainnya dlm berbagai terminologinya tentang manusia sempurna atau manusia terbaik.
Dari sekian deretan terminologi, dalil dan narasi tentang manusia sempurna, dengan menggunakan reduksi ontologis pada makna manusia puasa di jalan pikiran M.Sabri AR, maka sesungguhnya kita dapat memantik makna terdalam bahwa pada hakikatnya adalah penceburan jiwa pada makna tentang puasa ramadhan sebagai ritual Islam yang sangat “karib” dengan fenomena-ruhani. Itu sebab puasa syarat makna ontologis lebih dari sekadar actus realitas empiris. Pamitnya ramadhan berpesan: Dalam hidup, ada wilayah hikmah yang tidak kasat mata, tapi teramat benderang pada kilatan intuisi yang tercerahkan. Di titik ini, puasa diposisikan sebagai spiritual exercise yang dalam tradisi mistik Islam dikenal sebagai riyadhah. Pada riyadhah yg sungguh-sungguh akan tercipta mata pandang spiritual manusia puasa yang mampu menembus tidak saja realitas empirik, metaempirik, dan transmetaempirik, tapi bahkan menjangkau transendental misteri Agung yang terselubung. Dalam jangkauan pandang transendental demikian, manusia puasa hadir pasca ramadhan dengan sadar mengemban “otoritas” Ilahi dalam satu keinsafan ruhani yang sublim, sebagai “wakil”Nya, yang dengan keinsafannya “menghadirkan” Allah dalam setiap napas dan jejak merdekanya sebagai filantropis Ilahiyah sekaligus filantropis sosial. Di titik ini, manusia puasa diandaikan sebagai manusia dengan segudang pengalaman mi’râj dalam menyingkap misterium Ilahi yang tak tercakapkan, diri dan alamnya, karena manusia puasa, kualitasnya telah memandang segala realitas dengan “Mata Cinta-Nya”. Inilah puncak terdalam kenikmatan mahligai spiritual manusia puasa sebagai manusia sempurna dalam lintas nalar para filosof.
Oleh karenanya, pada manusia puasa kita berharap menemui sinthesa atas antithesa realitas mental kebangsaan yg kian terjatuh di titik nadir, entah apa penyebabnya sy tidak berniat meruntuhkan sisa optimisme saya yang masih tersisa karenanya saya puasa untuk tidak mengurainya. Yang pasti bahwa demi harta, kuasa dan popularitas kita tak segan menjadi monster untuk sesama. Cinta pada sesama insan tergadai secara murahan di atas panggung pentas, tanpa sadar pada akhirnya setiap panggung akan tertutup seiring berakhirnya pentas. Ingatan kita melemah pada berita teks qat'i yg suci tentang akhir dari yg hidup atau seperti yang di tahun 90 an melalui Concept of Time, Heidegger mengingatkan bahwa putaran waktu ini bergerak dalm sifat kesementaraan, ketidakkekalan dan mengantar pada kesadaran kita akan dihadapkan pada kematian.
Itulah... pada diri manusia puasa kita berharap, mata pandang yg terpencar membiaskan cahaya pengingat pesan kebenaran yang dapat menuntuan ke-aku-an kita pada arah jalan pulang tuk kembali di pusat primordial yg kita telah titipkan atas nama kontrak pribadi sebagai penegasan konsepsi suci penciptaan kita (QS. 30:30 & 7: 172) yakni manusia yang rindu pada otoritas kebenaran dan selalu berevolusi pada fitrah spiritualnya.
Meski ramadhan telah pergi, jalannya tetap terbuka, tuk perlahan menjadi manusia sempurna atau terbaik, setidaknya menjadi manusia baik dan penuh cinta. Manusia yg dapat mempersembahkan diri pada Rabb-Nya, memberikn sesuatu yg bernilai pada diri dan orang lain. Semoga harapan ini dengan niat baik menjadi pelipur lara ketika jejak waktu telah beranjak pergi ke keperaduannya. Amiin...*
#SELALU DAN SELAMANYA...
MAAF_LAHIR_BATHIN