Eksitensi dan Kewenangan Peradilan Agama Di era Reformasi | (18-10-2018)
EKSISTENSI DAN KEWENANGAN
PERADILAN AGAMA DI ERA REFORMASI
Ahmad Zahri, S.H, M.HI
(Ketua Pengadilan Agama Kuwuk Kelas I B)
I. Pendahuluan
Peradilan Agama di Indonsesia telah ada diberbagai tempat di Nusantara sejak sebelum zaman penjajahan Belanda, yakni sejak abad XVI di zaman Kesultanan/Kerajaan Islam. Dalam sejarah yang dibukukan oleh Departemen Agama Republik Indonesia yang berjudul Seabad Peradilan Agama di Indonesia, tanggal 19 Januari 1882 adalah pertama kali dijadikan sebagai hari jadi Peradilan Agama, dengan dasar diundangkannya Ordonantie S. 1882 No. 152 Tentang Peradilan Agama di Pulau Jawa dan Madura.
Setelah pemerintah kolonial Belanda menguasai wilayah nusantara, keberadaan Pengadilan Agama diperlemah dengan cara dipereteli satu demi satu kewenanganya. Pada era Kesultanan Islam, seperti di Kesultanan Demak, Ternate Goa, Bone dll, tugas dan kewenangan (kompetensi absolut) Pengadilan Agama mencakup hampir semua aspek kehidupan manusia, namun atas rekayasa politik hukum kolonial Belanda kewenangan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura tinggal tersisa perkara nikah, talak, cerai dan rujuk (NTCR), dan di luar Jawa dan Madura ditambah dengan perkara mal waris, wakaf, hibah, shadaqah, baitul mal dan lain-lain yang berhubungan dengan hal itu. Jadi ada dualisme kompetensi Pengadilan Agama di Indoensia.
Pengadilan Agama juga dikebiri sehingga tidak dapat menjalankan eksekusi terhadap putusannya sendiri sebelum mendapatkan fiat executie (pengukuhan) dari Pengadilan Negeri. Dengan demikian Pengadilan Agama dapat dikatakan pengadilan semu/kuasi peradilan/pengadilan serambi (sering bertempat di serambi Masjid).
Seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, keberadaan dan kewenangan Peradilan Agama semakin kuat. Lompatan besar terjadi setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, dimana eksistensi dan kedudukan Pengadilan Agama menjadi sama dengan pengadilan lain, kompetensi absolute Pengadilan Agama menjadi sama, tidak ada bedanya yang di Jawa dan Madura serta yang ada di luar Jawa dan Madura, telah memiliki aparat juru sita dan dapat menjalankan eksekusi sendiri terhadap putusannya, tanpa harus meminta pengukuhan terlebih dahulu ke Pengadilan Negeri. Namun demikian, pada posisi ini Peradilan Agama dan juga peradilan di Indonesia pada umumnya masih dibawah departemen/kementerian masing-masing. Peradilan Agama secara organesasi, administrasi dan finansial masih dibawah Departemen Agama, Peradilan Umum di bawah Departemen Kehakiman dan Peradilan Militer di bahwah Departemen Pertahanan dan Keamanan. Sementera secara tehnis yustisial semuanya di bawah Mahkamah Agung. Jadi semua badan peradilan ketika itu mempunyai dua jalur komando, yaitu dari departemen terkait dan dari Mahkamah Agung. Dimana departemen terkait adalah merupakan cabang kekuasaan eksekutif. Boleh dibilang kekuasaan eksekutif masih mengkooptasi kekuatan yudikatif, sehingga kemandirian kekuasaan badang peradilan selalu dipertanyakan.
II. Eksistensi
Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar bagi bangsa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan, tak terkecuali bidang hukum. Empat kali amandemen UUD 1945 cukup memberikan gambaran betapa perubahan tersebut terjadi secara mendasar, yaitu pada level konstitusi. Dalam tatanan konstitusi baru pasca amandemen, paradigama pembagian kekuasaan (devision of power) yang menjiwai UUD 1945 pra amandemen berubah menjadi paradigma pemisahan kekuasaan (separation of power) yang tegas dalam konstitusi baru.
Cabang-cabang kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif (DPD dan DPRRI/DPRD), eksekutif ( pemerintah pusat/daerah) dan yudikatif (MA dan MK) dipisahkan sedemikian rupa satu sama lain agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan di satu tangan yang berujung pada kekuasaan tak terbatas atau kekuasaan diktator dan otoriter, sebagaimana pengalaman selama era Orde Baru.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen ketiga, Bab IX pasal 24 berbunyi:
- Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. ***)
- Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. ***)
Eksistensi badan-badan peradilan, termasuk Peradilan Agama menjadi begitu kuat karena dimuat secara eksplisit (expressif verbis) dalam kontitusi negara, yang merupakan hukum tertinggi. Presiden maupun DPR tidak mempunyai kewenangan untuk menghilangkan atau membubarkan badan-badan peradilan tersebut.
Lebih lanjut keberadaan badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dipertegas lagi dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu : “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Secara khusus, eksistensi Peradilan Agama dirumuskan dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor : 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah pertama dengan Undang-Undang 3 Tahun 2006 dan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, berbunyi, “ Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”
Dengan demikian, Peradilan Agama merupakan salah satu pilar pelaku kekuasaan kehakiman disamping tiga pilar lainya. Berdiri sejajar dan sederajat, memiliki hak dan kewajiban yang sama dan yang membedakan satu dengan lainya hanyalah bidang tugas masing-masing. Keempatnya adalah peradilan negara dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pengelolaan organesasi, administrasi, finansial dan tehnis yuridis berada di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang kemudian dikenal dengan istilah peradilan satu atap (one roof sistem).
Tenaga tehnis maupun struktural memiliki kedudukan yang sama, sistem kepangkatan dan penggajian juga seragam. Tidak ada lagi dikotomi hakim umum, hakim agama, hakim militer, yamg ada adalah Hakim Indonesia.
III.Tugas Pokok dan Wewenang
Tugas pokok dan wewenang Pengadilan Agama dari masa ke masa mengalami perobahan pasang surut, baik di zaman pejajahan maupun di era Kemerdekaan. Tugas pokok Pengadilan Agama saat ini mengacu pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2006 yang merupakan amandemen Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi, “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
- perkawinan ;
- waris ;
- wasiat ;
- hibah ;
- wakaf ;
- zakat ;
- infaq ;
- shadaqah ;
- ekonomi syari’ah
Adapun penjelasan pasal 49 tersebut berbunyi sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan pasal ini.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
1. izin beristri lebih dari seorang;
2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10. penyelesaian harta bersama;
11. penguasaan anak-anak;
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18. penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "wakaf" adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah.
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’ah;
e. reksa dana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis syari’ah.
Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya.
Kewenangan mengadili sebagaimana tersebut di atas dapat dibagi 2 (dua), yaitu :
- Kewenangan Mutlak ( Absolute Competentie), yaitu kewenangan yang menyangkut kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu perkara, artinya perkara tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama. Dalam istilah lain disebut “Atribute Van Rechsmacht”. Contoh : Perkara perceraian bagi orang-orang yang beragama Islam dan perkawinannya dilakukan secara Islam menjadi kewenangan absolute Peradilan Agama .
- Kewenangan Relatif ( Relative Competentie), yaitu kewenangan mengadili suatu perkara yang menyangkut wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal pihak-pihak berperkara. Ketentuan umum menentukan gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal Tergugat (pasal 120 ayat (1) HIR/pasal 142 ayat (1) Rbg. Dalam perkara perceraian, gugatan diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal isteri (pasal 66 ayat (2) dan psl 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1989. Dalam istilah lain kewenangan relatif ini disebut “Distribute Van Rechsmacht”
IV. Tugas Lain
Selain dari tugas pokok sebagaimana diuraikan di atas, Peradilan Agama mempunyai tugas tambahan, baik yang diatur dalam undang-undang maupun dalam peraturan-peraturan lainya, yaitu :
1. Memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah apabila diminta (pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1989) ;
2. Memberikan istbat kesaksian rukyatul hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hujriyah (pasal 52 A Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 2006) ;
3. Melaksanakan tugas lainnya seperti pelayanan riset/penelitian dan tugas-tugas lainnya.
V. Penutup
Demikian makalah singkat ini, dengan harapan dapat memberikan pencerahan dan tambahan pengetahuan bagi masyarakat, khususnya masyarakat Kabupaten Dompu yang mengikuti peyuluhan hukum ini. Semoga bermanfaat. Amin.